Bendera Cina |
Perubahan sistem pemerintahan dari kekaisaran
menjadi Republik merupakan suatu perubahan besar yang dialami oleh bangsa Cina.
Perubahan yang terjadi pada sistem pemerintahan ini ternyata turut memberikan
dorongan perubahan pada bidang yang lainnya. Salah satunya adalah agama yang
berkembang pada negara yang bangga disebut Tiongkok ini. Selain agama,
aspek-aspek yang lain juga ikut mengalami perubahan. Sebelum mengetahui
perkembangan agamanya, sebaiknya kita lebih dahulu mengetahui perkembangan
politiknya, yaitu perubahan sistem pemerintahan dari kekaisaran ke Republik
Cina.
Sebelum Republik Cina menjadi sistem pemerintahan,
Cina dikuasai oleh dinasti yang disebut dinasti Qing. Dinasti ini berkuasa
sejak tahun 1644 hingga 1911 (Soepratignyo,1999:16). Setelah adanya
pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah di Cina, Dinasti ini tidak mampu
lagi mengatasinya. Ditambah dengan keberadaan orang asing di negara itu,
menambah keterpurukan Dinasti Qing. Orang asing yang di maksud adalah bangsa
lain, misalnya Inggris, Jerman, Rusia, Perancis, dan Jepang. Pada masa
sebelumnya Cina telah membuka diri untuk melakukan perdagangan bebas dengan
negara lain, terutama pada komoditi opium. Sehingga bangsa-bangsa lain
berbondong-bondong untuk melakukan perdagangan di wilayah Cina.
Pada masa kekaisaran (sebelum berubah menjadi
Republik Cina), Cina memiliki beberapa agama/ kepercayaan, antara lain adalah
Budha, Konfusionisme, Kong Hu Cu, Taoisme, dan Nasrani. Agama Budha di Cina
memiliki beberapa aliran, yaitu Budha Mahayana, Budha Therevada, dan Budha
Tibet. Budha Mahayana merupakan aliran yang paling banyak penganutnya (Darini,
2010:60). Konfusionisme dan Kong Hu Cu adalah agama atau kepercayaan yang
tumbuh dari kepercayaan masyarakat Cina sendiri, sedangkan Budha dan Nasrani
adalah agama pendatang. Agama itu dibawa oleh pedagang-pedagang Asing yang
datang ke Cina pada saat melakukan perdagangan.
Pada masa pemerintahan Kekaisaran yang terakhir,
yaitu Dinasti Qing, keadaan Cina semakin buruk. Keadaan yang kacau di Cina
tidak dapat ditangani dengan baik oleh pemerintah, ditambah pula oleh kaisarnya
yang terakhir adalah seorang anak yang berumur dua tahun. Masyarakat semakin
tidak sabar dengan keadaan di negaranya. Kemudian para akademisi memikirkan
solusi yang tepat untuk negaranya. Ibaratnya, Cina sudah diambang kehancuran,
sedangkan masyarakat berusaha menggunakan bantuan dari negara lain. Ketika itu,
bantuan dari Inggris dan Perancis tidak mampu mengatasi permasalahan Cina,
sehingga Bantuan dari Rusia yang notabene adalah negara komunis digunakan.
Pemikiran Rusia mengenai “menggunakan kekerasan untuk menduduki kekuasaan
politik” dari teori Marxisme-Leninisme dimasukkan ke Cina yang belum pernah
mengenal Komunisme itu (Sutopo, 2009:94).
Rusia merupakan negara yang telah berhasil melakukan
perubahan pada negaranya. Perubahan ini yang disebut sebagai Revolusi Rusia
terutama didalangi oleh Partai Komunis Rusia terjadi pada tahun 1917. Partai
ini memiliki keinginan dan keyakinan bahwa negara Rusia akan menjadi negara
modern dengan ideologi komunis. Untuk itu, Rusia yang berubah menjadi Uni
Soviet terobsesi untuk menyebarkan paham komunisme ke wilayah Cina dengan
mengadakan hubungan diplomasi sebagai langkah awalnya (Taniputra, 2008:550).
Langkah pertama yang dilakukan oleh Uni Soviet adalah membentuk Biro Timur Jauh
yang merupakan cabang dari Komintern (Komunis Internasional). Biro ini yang
mempersiapkan pembentukan Partai Komunis Cina (PKC) serta negara-negara lainnya
di Timur Jauh.
Sebagian masyarakat Cina mulai mengenal komunisme,
sehingga mereka meyakini bahwa doktrin-doktrin Kong Hu Cu dan agama-agama
tradisional lainnya akan menghambat perbaikan pada negara Cina. Mereka
berpendapat bahwa Konfusionisme dan Taoisme mendukung feodalisme dan
kapitalisme. Sedangkan agama lainnya merupakan agama dari negara Asing,
sehingga tidak diperkenankan karena mereka takut akan datangnya kolonialisme
kembali di wilayah mereka. Pemerintah yang didominasi oleh PKC (Partai Komunis
Cina) menghambat kegiatan yang dilakukan oleh agama-agama di Cina. Namun ada
pula sebagian masyarakat yang tidak setuju dengan adanya komunis, sehingga
terdapat perpecahan di Cina antara yang pro-komunis dengan anti-komunis. Akhirnya
Cina pecah menjadi dua antara Cina pimpinan Mao Zedong yang beraliran Komunis dan pimpinan Chiang Kai Shek yang
beraliran Nasionalis (Sutopo, 2009:100).
Sejak komunis memasuki Cina dan pemerintahan
dikuasai oleh paham komunis tahun 1949, semua kegiatan yang ada di Cina harus
mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak pemerintah yang didominasi PKC. Di
beberapa daerah di Cina bahkan pemerintah terlibat langsung ketika membubarkan
Konfusianisme, Taoisme, Budha, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan (Darini,
2010:61). Kegiatan yang dilakukan oleh anggota keagamaan atau pemeluk agama
Konfusianisme, Taoisme, Budha, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan dilarang.
Bahkan terjadi perusakan atau bahkan pemusnahan tempat-tempat keagamaan di Cina
ketika itu.
Revolusi kebudayaan tahun 1966 yang diprakarsai oleh
Mao Zedong menambah kehancuran kebudayaan asli masyarakat Cina. Revolusi ini
dimaksudkan untuk menjadikan komunis sebagai satu-satunya paham di Cina,
sehingga tidak diperkenankan lagi filasafat-atau kepercayaan di luar komunis
atau yang menentang paham komunis itu. Pada Revolusi kebudayaan itu, banyak
peninggalan-peninggalan kebudayaan di Cina. Misalnya adalah pemusnahan
buku-buku yang berkaitan dengan paham-paham di luar komunis, bangunan-bangunan
peninggalan kuno dirobohkan, makam-makam pemikir kuno juga dihancurkan. Hal itu
dilakukan agar masyarakat tidak lagi mempelajari paham-paham lainnya selain
Komunis. Makam-makam pemikir kuno juga dihancurkan agar masyarakat tidak lagi
mengenang orang-orang yang penting bagi paham-paham di luar komunis yang dulu
mereka anut. Begitu pula peninggalan kuno juga dilenyapkan.
Dengan tiadanya fasilitas keagamaan itu, dapat
dipastikan bahwa kegiatan agama menjadi terhambat. Jika lama kelamaan kegiatan
keagamaan dihambat, maka akan membunuh dan melenyapkan agama itu karena
keimanan mereka akan pudar seiring intensitas beragama berkurang. Selain
bangunan keagamaan, orang yang berpengaruh dalam keagamaan, misalnya pemimpin
ritual keagamaan juga dibunuh atau jika tidak maka dilarang untuk memimpin
keagamaan lagi. Karena pemimpin keagamaan memegang peran penting dalam perkembangan
suatu agama. Dengan keberadaan pemimpin keagamaan yang bebas mengembangkan
agama, maka tentu saja agama itu akan berkembang pesat pula. Demikian pula jika
pemimpin keagamaan itu dikekang, maka agama itu juga akan terkekang, bahkan
akan tumbang dengan seiring waktu.
Daftar Rujukan :
Darini, Ririn. 2010. Garis Besar Sejarah Cina Era Mao. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta
Lam, N. Mark, Graham, John L. 2007. China Now Berbisnis di Pasar Paling Dinamis di Dunia. Jakarta: Gramedia
Soepratignyo. 1999. Sejarah Singkat Asia Timur. Malang: Institut Keguruan Ilmu Pendidikan
Supardi, Nunus, dkk,. 2000. Kelenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Sutopo, FX. 2009. Cina: Sejarah Singkat. Yogyakarta: Garasi
Taniputera, Ivan. 2008. History of China. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Wiriatmaja, Rochiati, dkk. 2003. Sejarah dan Peradaban Cina: Analisis Filosofis-Historis dan Sosio-Antropologis. Bandung: Humaniora