Minggu, 02 Agustus 2015

perkembangan agama di Cina pada masa berkuasanya partai Komunis pada tahun 1949

Bendera Cina


Perubahan sistem pemerintahan dari kekaisaran menjadi Republik merupakan suatu perubahan besar yang dialami oleh bangsa Cina. Perubahan yang terjadi pada sistem pemerintahan ini ternyata turut memberikan dorongan perubahan pada bidang yang lainnya. Salah satunya adalah agama yang berkembang pada negara yang bangga disebut Tiongkok ini. Selain agama, aspek-aspek yang lain juga ikut mengalami perubahan. Sebelum mengetahui perkembangan agamanya, sebaiknya kita lebih dahulu mengetahui perkembangan politiknya, yaitu perubahan sistem pemerintahan dari kekaisaran ke Republik Cina.
Sebelum Republik Cina menjadi sistem pemerintahan, Cina dikuasai oleh dinasti yang disebut dinasti Qing. Dinasti ini berkuasa sejak tahun 1644 hingga 1911 (Soepratignyo,1999:16). Setelah adanya pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah di Cina, Dinasti ini tidak mampu lagi mengatasinya. Ditambah dengan keberadaan orang asing di negara itu, menambah keterpurukan Dinasti Qing. Orang asing yang di maksud adalah bangsa lain, misalnya Inggris, Jerman, Rusia, Perancis, dan Jepang. Pada masa sebelumnya Cina telah membuka diri untuk melakukan perdagangan bebas dengan negara lain, terutama pada komoditi opium. Sehingga bangsa-bangsa lain berbondong-bondong untuk melakukan perdagangan di wilayah Cina.
Pada masa kekaisaran (sebelum berubah menjadi Republik Cina), Cina memiliki beberapa agama/ kepercayaan, antara lain adalah Budha, Konfusionisme, Kong Hu Cu, Taoisme, dan Nasrani. Agama Budha di Cina memiliki beberapa aliran, yaitu Budha Mahayana, Budha Therevada, dan Budha Tibet. Budha Mahayana merupakan aliran yang paling banyak penganutnya (Darini, 2010:60). Konfusionisme dan Kong Hu Cu adalah agama atau kepercayaan yang tumbuh dari kepercayaan masyarakat Cina sendiri, sedangkan Budha dan Nasrani adalah agama pendatang. Agama itu dibawa oleh pedagang-pedagang Asing yang datang ke Cina pada saat melakukan perdagangan.
Pada masa pemerintahan Kekaisaran yang terakhir, yaitu Dinasti Qing, keadaan Cina semakin buruk. Keadaan yang kacau di Cina tidak dapat ditangani dengan baik oleh pemerintah, ditambah pula oleh kaisarnya yang terakhir adalah seorang anak yang berumur dua tahun. Masyarakat semakin tidak sabar dengan keadaan di negaranya. Kemudian para akademisi memikirkan solusi yang tepat untuk negaranya. Ibaratnya, Cina sudah diambang kehancuran, sedangkan masyarakat berusaha menggunakan bantuan dari negara lain. Ketika itu, bantuan dari Inggris dan Perancis tidak mampu mengatasi permasalahan Cina, sehingga Bantuan dari Rusia yang notabene adalah negara komunis digunakan. Pemikiran Rusia mengenai “menggunakan kekerasan untuk menduduki kekuasaan politik” dari teori Marxisme-Leninisme dimasukkan ke Cina yang belum pernah mengenal Komunisme itu (Sutopo, 2009:94).
Rusia merupakan negara yang telah berhasil melakukan perubahan pada negaranya. Perubahan ini yang disebut sebagai Revolusi Rusia terutama didalangi oleh Partai Komunis Rusia terjadi pada tahun 1917. Partai ini memiliki keinginan dan keyakinan bahwa negara Rusia akan menjadi negara modern dengan ideologi komunis. Untuk itu, Rusia yang berubah menjadi Uni Soviet terobsesi untuk menyebarkan paham komunisme ke wilayah Cina dengan mengadakan hubungan diplomasi sebagai langkah awalnya (Taniputra, 2008:550). Langkah pertama yang dilakukan oleh Uni Soviet adalah membentuk Biro Timur Jauh yang merupakan cabang dari Komintern (Komunis Internasional). Biro ini yang mempersiapkan pembentukan Partai Komunis Cina (PKC) serta negara-negara lainnya di Timur Jauh.
Sebagian masyarakat Cina mulai mengenal komunisme, sehingga mereka meyakini bahwa doktrin-doktrin Kong Hu Cu dan agama-agama tradisional lainnya akan menghambat perbaikan pada negara Cina. Mereka berpendapat bahwa Konfusionisme dan Taoisme mendukung feodalisme dan kapitalisme. Sedangkan agama lainnya merupakan agama dari negara Asing, sehingga tidak diperkenankan karena mereka takut akan datangnya kolonialisme kembali di wilayah mereka. Pemerintah yang didominasi oleh PKC (Partai Komunis Cina) menghambat kegiatan yang dilakukan oleh agama-agama di Cina. Namun ada pula sebagian masyarakat yang tidak setuju dengan adanya komunis, sehingga terdapat perpecahan di Cina antara yang pro-komunis dengan anti-komunis. Akhirnya Cina pecah menjadi dua antara Cina pimpinan Mao Zedong yang beraliran  Komunis dan pimpinan Chiang Kai Shek yang beraliran Nasionalis (Sutopo, 2009:100).
Sejak komunis memasuki Cina dan pemerintahan dikuasai oleh paham komunis tahun 1949, semua kegiatan yang ada di Cina harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak pemerintah yang didominasi PKC. Di beberapa daerah di Cina bahkan pemerintah terlibat langsung ketika membubarkan Konfusianisme, Taoisme, Budha, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan (Darini, 2010:61). Kegiatan yang dilakukan oleh anggota keagamaan atau pemeluk agama Konfusianisme, Taoisme, Budha, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan dilarang. Bahkan terjadi perusakan atau bahkan pemusnahan tempat-tempat keagamaan di Cina ketika itu.
Revolusi kebudayaan tahun 1966 yang diprakarsai oleh Mao Zedong menambah kehancuran kebudayaan asli masyarakat Cina. Revolusi ini dimaksudkan untuk menjadikan komunis sebagai satu-satunya paham di Cina, sehingga tidak diperkenankan lagi filasafat-atau kepercayaan di luar komunis atau yang menentang paham komunis itu. Pada Revolusi kebudayaan itu, banyak peninggalan-peninggalan kebudayaan di Cina. Misalnya adalah pemusnahan buku-buku yang berkaitan dengan paham-paham di luar komunis, bangunan-bangunan peninggalan kuno dirobohkan, makam-makam pemikir kuno juga dihancurkan. Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak lagi mempelajari paham-paham lainnya selain Komunis. Makam-makam pemikir kuno juga dihancurkan agar masyarakat tidak lagi mengenang orang-orang yang penting bagi paham-paham di luar komunis yang dulu mereka anut. Begitu pula peninggalan kuno juga dilenyapkan.
Dengan tiadanya fasilitas keagamaan itu, dapat dipastikan bahwa kegiatan agama menjadi terhambat. Jika lama kelamaan kegiatan keagamaan dihambat, maka akan membunuh dan melenyapkan agama itu karena keimanan mereka akan pudar seiring intensitas beragama berkurang. Selain bangunan keagamaan, orang yang berpengaruh dalam keagamaan, misalnya pemimpin ritual keagamaan juga dibunuh atau jika tidak maka dilarang untuk memimpin keagamaan lagi. Karena pemimpin keagamaan memegang peran penting dalam perkembangan suatu agama. Dengan keberadaan pemimpin keagamaan yang bebas mengembangkan agama, maka tentu saja agama itu akan berkembang pesat pula. Demikian pula jika pemimpin keagamaan itu dikekang, maka agama itu juga akan terkekang, bahkan akan tumbang dengan seiring waktu.

Daftar Rujukan :
Darini, Ririn. 2010. Garis Besar Sejarah Cina Era Mao. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta
Lam, N. Mark, Graham, John L. 2007. China Now Berbisnis di Pasar Paling Dinamis di Dunia. Jakarta: Gramedia
Soepratignyo. 1999. Sejarah Singkat Asia Timur. Malang: Institut Keguruan Ilmu Pendidikan
Supardi, Nunus, dkk,. 2000. Kelenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Sutopo, FX. 2009. Cina: Sejarah Singkat. Yogyakarta: Garasi
Taniputera, Ivan. 2008. History of China. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Wiriatmaja, Rochiati, dkk. 2003. Sejarah dan Peradaban Cina: Analisis Filosofis-Historis dan Sosio-Antropologis. Bandung: Humaniora