Bendera Cina |
Penghujung Dinasti Yuan
ditandai oleh adanya pemerintahan yang korup, pajak, dan inflasi yang tinggi.
Hal ini semakin diperparah dengan adanya sikap bangsa Mongol yang suka
bertindak sewenang-wenang. Kekaisaran kemudian mengganti mata uang yang telah
beredar sejak zaman Kubilai Khan dengan mata uang baru. Mata uang ini baru
dicetak dalam jumlah besar sehingga menyebabkan hiperinflasi. Hal ini kemudian
menyebabkan perekonomian ambruk dan bencana kelaparan merebak dimana-mana. Pada
tahun 1351, terjadi bencana banjir besar yang diakibatkan Sungai Kuning meluap.
Kekaisaran kemudian menyuruh rakyat melakukan kerja paksa untuk memperbaiki
bendungan Sungai Kuning. Kerja paksa ini kemudian menyebabkan ketidakpuasan
rakyat dan akhirnya me nimbulkan pemberontakan petani yang terjadi pada bulan
Mei 1351.
Pada
tahun berikutnya Guo Zixing memimpin pemberontakan dan berhasil menguasai
wilayah Haozhou. Ketika Guo Zixing melakukan pemberontakan Zhu Yuanzhang juga
ikut berpartisipasi dan berjasa dalam beberapa pertempuran. Jasa Zhu kemudian
menarik perhatian Guo yang akhirnya menikahkan putri angkatnya kepada Zhu.
Tahun 1356, dengan kekuatannya sendiri, ia berhasil menaklukkan jiqing dan
mengganti nama menjadi Yngtian. Yingtian inilah yang kemudian menjadi ibukota
yang baru setelah Dinasti Ming berdiri.
Zhu
Yuanzhang kemudian memutuskan untuk berbasis di Yingtian untuk memusatkan
kekuatan demi mempersatukan daratan Cina. Pada awalnya, situasi Zhu di wilayah
Yingtian sangat tidak strategi buat mengumpulkan kekuatan dalam waktu singkat.
Kemudian ia menerima nasihat Zhu Sheng untuk memprkuat pertahanan dan
memusatkan perhatian pada perbaikan logistik dan tidak terlalu gegabah untuk
mengangkat diri sendiri menjadi raja.
Kebijakan yang dibuat oleh Zhu menyebabkan ia dapat
memperkuat dirinya dalam waktu singkat. Ia kemudian menyerang kekuatan
pemberontak lainnya, Chen Youliang pada tahun 1360.
Ia kemudian berhasil memukul mundur pasukan Chen ke Jiangzhou,
wilayah pesisir sebelah timur Yingtian. Dalam waktu tiga tahun, Zhu berhasil
menghancurkan kekuatan Chen.
Tahun 1367, Zhu berhasil menaklukkan Zhang Shicheng, pemberontak lainnya dan
menguasai Pingjiang
(sekarang Suzhou, Jiangsu). Dalam tahun yang sama, Zhu juga
menghancurkan kekuatan Fang Guozhen
yang pada saat itu menguasai wilayah pesisir Zhejiang. Setelah keberhasilan ini, Zhu
Yuanzhang mengangkat diri sebagai kaisar pada tahun 1368,
memulai sejarah Dinasti Ming selama 300 tahun ke depan. Ia menetapkan Hongwu
sebagai tahun pemerintahan sehingga ia dikenal juga sebagai Kaisar Hongwu.
Pada tahun itu juga, Kaisar Hongwu melakukan ekspedisi ke
utara untuk mempersatukan Cina. Kekaisaran Yuan yang saat itu telah melemah
tidak dapat menghambat tentara Ming yang saat itu bermoral tinggi karena
kemenangan demi kemenangan. Ibukota Yuan, Dadu
berhasil dikuasai dan dibumi-hanguskan atas perintah Kaisar Hongwu. Suku Mongol
kemudian berhasil diusir kembali ke padang rumput Mongol.
Setelah berhasil menghancurkan Dinasti Yuan, Kaisar Hongwu
menaklukan pemberontak Ming Yuzhen
di Sichuan pada tahun 1371.
Sepuluh tahun kemudian, hancurnya kekuatan Raja Liang
dari Dinasti Yuan di Yunnan mengukuhkan
penyatuan Cina daratan di bawah Dinasti Ming.
Confusius
(552 SM)
Diantara
filsuf yang masa hidupnya banyak mengalami kekecewaan dan kurang mendapat
penghargaan ialah Confucius. Menurut kisah dan dongeng dalam tradisi yang
bersifat biografi tentang orang keramat atau suci (Holy Man) yang disebut
historiografi, Confisius merupakan orang yang berasal dari keturunan golongan
bangsawan yang tidak mampu. Ada yang menduga bahwasannya Conficius berasal dari
keturunan bangsawan Dinasti Shang. Ia memiliki nama asli yaitu Kung Tzu
(Pujangga Kung) atau disebut pula Fu Tzu (Pujangga Besar) (Wiriaatmadja,
2003:109).
Para
sejarawan memperkirakan bahwa Conficius lahir pada tahun 551 atau 552 SM.
Conficius merupakan orang yang dikenal sebagai seorang yang konservatif yang
kerap kali berbicara tentang “Jalannya para mantan Raja”. Namun, banyak
gagasannya yang revolusioner dan mendahului pemikiran para filsuf Pencerahan
Eropa seperti John Locke. Conficius menentang penggunaan garis keturunan dalam
penentuan status dan kekuasaan. Ia berpendapat bahwa pemerintah harus melayani
rakyatnya dan bukan sebaliknya. Ia kemudian menawarkan aturan moral yang
didasarkan pada niat baik yang kurang lebih tergambarkan dalam pernyataan
“Jangan perlakukan orang lain dengan cara yang tidak Anda sukai bila menimpa
diri sendiri”. Setelah ia meninggal, beberapa pengikutnya kemudian bekerja di
kantor-kantor pemerintahan. Para pengikut Conficius ini kemudian menyebarkan
ajaran-ajarannya kepada orang-orang secara lisan. Setelah beberapa generasi
kemudain, jaran-ajaran tersebut dibukukan dalam kitab Lun Yu atau Analects yang
masih lestari hingga sekarang. Ajaran-ajaran ini kemudian menjadi Landasan
Pendidikan Cina sekitar 2.000 tahun hingga tahun 1911. Ketika Revolusi Nasional
menggulingkan Dinasti Qing. Selama dua milenium lamanya, pengetahuan tentang
aliran Confisianis menjadi persyaratan utama bagi calon Pegawai Negeri di Cina
(Lam N. Mark, 2007:18-19).
Konfusianisme
Konfusianisme atau Konghuchu mulai
dikenal di Cina melalui pemikiran-pemikirannya yang cemerlang yang dilontarkan
pada zaman Chou Timur (770-221 SM). Konghuchu lahir pada tahun 551 SM berasal
dari kota Lu, Provinsi Shandong. Pada masa itu dinasti Chou tengah kehilangan
kendali terhadap para tuan tanah yang menempati hampir setengah bagian dari
wilayah Cina. Konghuchu dibesarkan oleh ibunya karena ia sudah kehilangan
ayahnya ketika masih berusia tiga tahun. Ketika dewasa dan bekerja sebagai
pegawai di kuil bangsawan Zhou, ia mengikuti semua detail-detail yang terdapat
dalam perayaan yang akhirnya menjadikannya sebagai seorang yang ahli dalam
ritual agama kuno.
Konfusianisme merupakan humanisme,
tujuan yang hendak dicapai adalah kesejahteraan manusia dalam hubungan yang
harmonis dengan masyarakatnya. Kodrat manusia menurut konfusius adalah
“pemberian langit”, yang berarti bahwa dalam hal tertentu ia berada di luar
piliham manusia. Kesempurnaan manusia terletak dalam pemenuhannya sebagai
manusia yang seharusnya. Moralitas merupakan realisasi dari rancangan yang ada
dalam manusia. Oleh karena itu, tujuan manusia yang paling tinggi adalah
menemukan petunjuk sentral bagi moral yang mempersatukan manusia dengan seluruh
isi alam semesta. Bagi Konfusius, manusia adalah baian dari konstitutif dai
seluruh isi alam semesta. Manusia harus berhubungan secara indah dan harmonis
dengan harmoni alam di luarnya. Ungkapan yang paling terkenal yang merupakan
inti ajarannya yaitu tidak berbuat kepada orang lain apa yang dia tidak sukai
orang lain perbuatan pada dirinya. Secara praktis ajaran Konfusius dapat
disimpulkan menjadi tiga pokok yaitu:
1. Pemujaan terhadap Tuhan (Thian)
Konfusius mengajarkan keyakinan
kepada pengikutnya bahwa Thian atau Tuhan menjadi awal atas sumber kesadaran
alam semesta dan segalanya. Ia menekankan bahwa amat perlu untuk melakukan
sembahyang korban terhadap Thian. Pengertian Tuhan dalam kepercayaan Tionghoa
sebenarnya juga tidak berbeda dengan agama-agama yang lain yaitu sebagai
pencipta alam semesta dan segala isinya. Dalam kepercayaan kalangan rakyat,
Tuhan biasanya disebut sebagai Thian atau Shangdi atau Siang Te (dialek
Hokkian). Thian adalah penguasa tertinggi alam semesta ini. Karena itu,
kedudukan-Nya berada di tempat yang paling agung, sedangkan para dewa dan
malaikat yang lain adalah para pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan
di alam semesta ini, sesuai dengan fungsinya masing-masing. Di dalam sistem
pemerintahan ini, merupakan cerminan dari prinsip Yin dan Yang, yang diwujudkan
dalam bentuk pemerintahan di dunia dan pemerintahan surga yang dilakukan oleh
para dewa yang dipuncaki oleh Shangdi. Rakyat percaya pemerintahan surga
memiliki struktur yang sama dengan pemerintahan dunia. Kalau pemerintahan dunia
terdiri dari kaisar, para keluarganya, perdana menteri, menteri-menteri sipil
dan militer, dan lain sebagainya, maka pemerintahan surga pun dipimpin oleh
Shangdi dan dibantu para dewa-dewa baik sipil maupun militer untuk mengatur
tata tertib di alam semesta ini. Sebab inilah maka para kaisar (hung-di) yang
di bumi merasa perlu untuk memuja Shangdi (yang berkedudukan di atas) untuk
memohon perlindungan dan berkah serta petunjuk-petunjuk untuk menjalankan roda
pemerintahan di mayapada ini agar selalu selaras dengan kehendak Shangdi
(Shang=di atas, di=tanah).
2. Pemujaan terhadap leluhur
Pemujaan terhadap leluhur adalah
menolong seseorang untuk mengingat kembali asal-usulnya. Di sini asal mula
manusia adalah dari leluhurnya. Upacara pemujaan terhadap leluhur di sini
diperlukan sesaji. Sebagian besar aktifitas rumah tangga dalam keluarga Cina
selalu berhubungan dengan roh leluhur. Salah satu fungsi utama dalam keluarga
adalah melakasanakan pemujaan terhadap leluhur. Pemujaan leluhur dipandang
sebagai perwujudan dari bakti anak terhadap orang tua dan leluhurnya (Xiao).
Pelaksanaan upacara pemujaan leluhur dalam keluarga dipimpin oleh ayah sebagai
kepala keluarga. Keluarga Cina menganut garus keturunan dari pihak ayah atau
disebut patrilineal. Garis keturunan sangat penting bagi mereka guna menjaga
kelangsungan keluarga. Oleh karena itu, anak laki-laki sangat penting untuk
meneruskan garis keturunan.
3. Penghormatan terhadap Konfusius
Bagi orang Cina merupakan kewajiban
mereka untuk menghormati Konghuchu yang mereka anggap sebagai guru besar
seperti halnya penghormatan terhadap orang tua. Konghuchu dianggap telah
berjasa dalam mengajarkan dasar-dasar ajaran moral yang sampai sekarang masih
terus diterapkan. Filsafatnya yang pada akhirnya menyatu dengan kehidupan
masyarakat Cina membuat secara keseluruhan ajaran Konfusius lebih banyak
ditujukan kepada manusia sebagai makhluk hidup.
Buddhisme
Agama Buddha sudah menjadi bagian
dari filosofi Cina selama hampir 2000 tahun. Meskipun Buddha bukanlah merupakan
agama asli, melainkan pengaruh dari India, tetapi ajaran Buddha mempunyai
pengaruh yang cukup berarti pada kehidupan orang Cina. Tema pokok ajaram agama
Buddha adalah bagaimana menghindarkan manusia dari penderitaan (samsara).
Kejahatan adalah pangkal penderitaan. Manusia yang lemah, tidak berpengetahuan
(akan Buddhisme) akan sangat mudah terkena kejahatan dan sulit untuk
membebaskan diri dari penderitaan.
Pendiri agama Buddha adalah Sidharta
Gautama. Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan di India. Sewaktu kecil, ayahnya
menjauhkan Sidharta dari segala macam bentuk penderitaan dunia, sampai pada
suatu hari secara tidak sengaja ia melihat orang-orang yang selama ini belum
dilihatnya yaitu orang-orang tua, seorang yang sakit dan yang meninggal.
Kenyataan tersebut membuatnya kemudian meninggalkan istana dan bertapa di bawah
pohon bodhi. Setelah bertapa selama enam tahun akhirnya ia memperoleh
pencerahan dengan menemukan obat penawar bagi penderitaan, jalan keluar dari
lingkaran tanpa akhir yaitu melalui kelahiran kembali kepada suatu jalan menuju
Nirwana. Jalan ini yang kemudian dikenal juga sebagai inti dari ajaran Buddha.
Buddhisme masuk ke Cina kira-kira
abad 3 Masehi, pada masa pemerintahan dinasti Han. Buddhisme selanjutnya
mengalami perkembangan sendiri di negara tersebut. Ajarannya di Cina mendapat
pengaruh dari kepercayaan yang sudah ada sebelumnya yaitu Taoisme dan
Konfusiansianisme. Hal yang paling kentara dari percampuran ini ialah dengan
munculnya sekte Shan, yang juga muncul di Jepang dengan nama Zen yang merupakan
Buddhisme India bercorak Taoisme Cina. Wujud dari agama ini adalah timbulnya
versi-versi signifikan dari dewata-dewata buddha, seperti Avalokitecvara,
Maitreya, dan sebagainya. Avalokitecvara berubah menjadi Dewi Welas Asih (Guan
Yin atau Kwan Im). Dewi ini sangat populer sekali di kalangan orang Cina,
tempat orang memohon pertolongan dalam kesukaran, memohon keturunannya, dan
lain sebagainya. Kwan Im dalam penampilannya mempunyai 33 wujud, diantaranya
yang paling populer adalah Kwan Im berbaju putih, Kwan Im membawa botol air
suci, dan Kwan Im bertangan seribu. Dalam Avalokitecvara, Maitreya juga mempunyai
wujud lain di Cina yaitu Mi le fo, seorang yang bertubuh gemuk dan raut muka
yang selalu tertawa. Dewa ini dikenal sebagai dewa pengobatan.
Selain dewata-dewata Buddhis, di
dalam sistem kepercayaan rakyat Cina mengenal tiga penggolongan utama dewata,
yaitu:
- Dewata
penguasa alam semesta yang mempunyai wilayah kekuasaan di langit. Para
dewata golongan ini dipimpin oleh dewata tertinggi yaitu Yu Huang Da Di,
Yuan Shi Tian Sun, dan termasuk di dalamnya antara lain dewa-dewa bintang,
dewa kilat, dan dewa angin.
- Dewata
penguasa bumi yang memiliki kekuasaan di bumi, walau sebetulnya mereka
termasuk malaikat langit. Kekuasaan mereka adalah dunia dan manusia,
termasuk akhirat. Mereka dikatakan sebagai para dewata yang menguasai
Wu-Xing (lima unsur), yaitu: (a) kayu (dewa hutan, dewa kutub, dan lain
sebagainya); (b) api (dewa api, dewa dapur); (c) logam (dewata penguasa
kekayaan dalam bumi); (d) air (dewa sumur, dewa sungai, dewa laut, dewa
hujan, dan lain sebagainya); (e) tanah (dewa bumi, dewa gunung, penguasa
akhirat, dewa pelindung kota, dan lain sebagainya)
- Dewata
penguasa manusia, yaitu para dewata yang mengurus soal-soal yang
bersangkutan dengan kehidupan manusia seperti kelahiran, perjodohan,
kematian, usia, rezeki, kekayaan, kepangkatan dan lain sebagainya.
Termasuk dalam golongan dewata penguasa manusia ini adalah para dewata
pelindung usaha pertokoan, dewata pengobatan, dewata pelindung, dan
peternakan ulat sutra. Di samping itu, terdapat dewata-dewata kedaerahan
yang menjadi pelindung masyarakat yang berasal dari daerah yang sama.
Daftar Rujukan :
Darini, Ririn. 2010. Garis Besar Sejarah Cina Era Mao. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta
Lam, N. Mark, Graham, John L. 2007. China Now Berbisnis di Pasar Paling Dinamis di Dunia. Jakarta: Gramedia
Soepratignyo. 1999. Sejarah Singkat Asia Timur. Malang: Institut Keguruan Ilmu Pendidikan
Supardi, Nunus, dkk,. 2000. Kelenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Sutopo, FX. 2009. Cina: Sejarah Singkat. Yogyakarta: Garasi
Taniputera, Ivan. 2008. History of China. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Wiriatmaja, Rochiati, dkk. 2003. Sejarah dan Peradaban Cina: Analisis Filosofis-Historis dan Sosio-Antropologis. Bandung: Humaniora